*Makna Feminisme*
Feminisme, dapat diberi pengertian sebagai “
Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut” (Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, 1995).
Ide ini pada awalnya muncul sebagai gerakan perlawanan terhadap sistem yang berlaku tidak adil terhadap perempuan. Pengusungnya meneriakkan feminisme untuk memperbaiki nasib perempuan supaya mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki. Sejarah mencatat bahwa gaung feminisme lahir pada abad 19 di Eropa Barat yang sedang menerapkan kapitalisme. Ide ini pun tidak dikenal di negeri muslim. Namun dalam perkembangan berikutnya ternyata banyak di kalangan muslim yang terpengaruh feminisme bahkan menjadi penganutnya. Mulailah gencar dibahas masalah seputar feminisme dalam pandangan Islam: Apakah Islam mengenal feminisme dan bagaimana sikap seorang muslim terhadap ide ini?
*Pandangan Islam Terhadap Feminisme*
Penting difahami bahwa untuk membahas pandangan Islam terkait feminisme mesti dikaitkan dengan dalil dalil syara/nash-nash syara. Dan tidak bisa diterima pemahaman yang menjadikan akal juga kondisi masyarakat sebagai rujukan hukum.
Karenanya, melalui pengkajian yang menyeluruh terhadap dalil-dalil syara terkait hak-hak dan kewajiban serta kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam Islam, akan diperoleh kesimpulan bahwa Islam memandang setara antara keduanya. Islam tidak meninggikan atau merendahkan status diantara mereka. Derajat kemuliaan seseorang bukan ditentukan oleh jenis kelaminnya, namun berdasarkan tingkat ketakwaannya di sisi Allah (QS.Al-Hujurat[49]:13)
Berikutnya bisa dirinci pengelompokan hukum Islam berdasarkan lingkup pembebanannya:
1). Hukum yang dibebankan sama baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan, seperti seruan untuk bertakwa (QS.An-Nisaa[4]: 1), perintah masuk Islam secara kaffah (QS.Al-Baqarah[2]:208), kewajiban menunaikan shalat, dll. Nash yang menjadi dalil hukumnya bersifat umum sehingga hukum hukum ini memandang laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang tidak berbeda sebagai hamba Allah.
2). Hukum-hukum yang ditetapkan berkaitan jenis manusia, seruannya khusus bagi perempuan/laki-laki saja dan tidak berlaku untuk yang lain, seperti rukhshoh untuk tidak shaum di bulan ramadhan bagi perempuan hamil atau menyusui dan tidak diberikan kepada laki-laki. Sekalipun ada beberapa ketetapan hukum syara yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan, namun tidak menunjukkan bahwa syariat Islam memiliki pandangan yang tidak sama kepada keduanya. Juga tidak bisa disimpulkan bahwa hukum Islam tidak adil pada perempuan. Sungguh Islam telah mendudukkan laki-laki dan perempuan sama di hadapan Hukum syara. Keduanya akan mendapatkan balasan pahala atas ketaatan yang telah dilakukannya serta sama-sama akan memperoleh siksa jika berbuat pelanggaran hukum syara. Jadi, sangat jelas bahwa dalam Islam tidak dikenal istilah feminisme.
*Bahaya Feminisme*
Seorang muslim tidak boleh tergiur untuk mendukung dan terlibat memperjuangkan Feminisme ide yang rusak dan berbahaya, karena:
1). Feminisme salah dalam menetapkan akar masalah perempuan dan keliru dalam memberikan solusi. Penindasan dan ketidakadilan yang dialami perempuan senyatanya disebabkan kesalahan sistem yang diterapkan (kapitalisme), karenanya solusi yang tepat adalah mengganti sistem yang merendahkan perempuan dengan sistem yang adil terhadap perempuan, bukan semata menuntut kesetaraan dan persamaan. Alih-alih memperbaiki nasib perempuan, nyatanya kian menjerumuskan perempuan pada berbagai permasalahan. Eksploitasi dan pengabaian fungsi perempuan sebagai ibu karena disibukan dengan aktivitas di dunia kerja bisa menjadi contohnya.
2). Pengaruh ide feminisme di tengah kaum muslim telah melahirkan orang-orang yang mempertanyakan hukum syara yang sudah jelas kebenarannya. Mereka menuduh bahwa beberapa hukum Islam telah bias gender atau melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan. Pembagian waris 1:2 antara laki laki dengan perempuan; kebolehan hukum poligami; hak talak di tangan laki-laki bukan pada perempuan seringkali dijadikan contoh hukum yang tidak pro pada perempuan. Mereka memang tidak dengan tegas menyebutkan bahwa hukum Islam tidak tepat. Mereka mengaburkan tuduhannya dengan mengatakan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penafsiran hukum sehingga perlu ada penafsiran ulang. Ujung-ujungnya tetap saja menjauhkan umat dari keterikatan terhadap hukum syara yang ditunjukkan oleh dalil yang qoth’i(al-Quran).
3). Upaya merevisi hukum syara yang gulirkan feminis sesungguhnya celah keraguan di tengah umat, jika dibiarkan akan berubah menjadi gelombang penyesatan yang akan memisahkan umat dari keterikatan pada hukum syara. Umat tidak merasa berdosa sekalipun hidupnya tidak melaksanakan aturan Islam, bahkan tidak bergeming ketika ajaran Islam dikriminalkan[].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar